midnight perpetual hopes
Saya baru saja dengerin satu buah lagu
Kau bilang kini kau tak menarik lagi
Tapi kumerasa kau tidak.
Kau selalu bertanya apa kumasih cinta,
Dari pertanyaanmu sepertinya kau takut.
Sekarang atau lima puluh tahun lagi
Ku masih akan tetap mencintaimu
Tak ada bedanya rasa cintaku masih sama seperti pertama bertemu..
Begitu nge-beatnya lagu itu sampai kepala saya pun ikut mengangguk-ngangguk tanda menikmati lagu ceria nan optimis tersebut. Hampir 5 kali saya puter ulang lagu itu berharap saya bisa meng-recognize suara sang penyanyi juga tentunya makna yang tersirat dalam lagu itu sesungguhnya apa. Kayaknya sih judulnya ’lima puluh tahun lagi’ penyanyinya sepertinya grup vokal yang terdiri dari beberapa pria dan beberapa wanita. Kesimpulan saya baru sampai situ sayangnya, hakhak.
Lima puluh tahun lagi, mmp, nampak masih akan sangat lama sekali. Saya berharap orang-orang yang saya sayang, both families or friends, masih ada sampai lima puluh tahun kedepan, well setidaknya didalam hati dan jiwa saya serta juga otak yang tidak terkena penyakit amsenia atau apalah itu namanya... *Aminn. Dan anehnya pada saat alam dramatisasi saya yang ini, tiba-tiba seorang kawan manis rupawan serta dermawan juga, menelpon saya dari jarak kejauhan, menanyakan kabar-kabur saya yang terasa semakin kabur semakin hari. Percakapan kami menggunakan provider GSM paling bagus diantara yang lain membuat kami menjadi dua insan paling gila di malam yang dingin ini, tapi tentunya lebih gila dia dibanding saya. Ini dan itu dia bercerita, bertanya juga sedikit melakukan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga ini.
***
I put the record mode: on
”Yellow, dheji san”
”Yellow, fijan san”
”Apa pernah terpikir olehmu kisah kita dimulai saat kita bertemu di sebuah acara musik jazz beberapa tahun lalu membuat segala hal yang tabu menjadi nyata, kemudian kita tersadar telah melakukan kesalahan namun tetap saja kita mengeraskan kepala sehingga menjadikan semuanya terasa benar-benar saja, hingga di hari akhir kita memutuskan untuk.. ya kamu tau apa itu..”
”Oh ya ya ya. Bagian paling tabu adalah saat mendapati kenyataan kita memiliki perbedaan pandangan yang sangat krusial, tentang ’canon-Nikon’ things and other crucial things. Mwahahaha. Kenapa jadi serius gini yia.. It’s been a long time since the day we’re separated as a..- You know what - and tonight we’re starting this conversation with heavy-old-stuff-things, oh come on fijan san just take it easy. Let’s start with, ‘how are you’ question or other cliché subject just to do the ice breaking”
“You’re same old dheji san. The one with cherish heart but also the unpredictable one”
“Look at you, old man... The one with irresponsible thought. Have you done your thesis, anyway?”
“I must be going crazy right now. Chapter four is on the way. Brilliant, huh? Wish for your presence on my graduation day”
“Sure I will be there, fijan san. My main status now has changed into: waiting for invitation. Mwahahahaha. So when will it be?”
*he was totally ignored my question*
“Let sing a song”
“Crazy man”
“No I’m serious. Do you still remember the song?”
“You mean... a frog song in the middle of the night full of dead witnesses?”
“Yeah. Come on...”
“No, you do the song. I’ll listen to you”
*crazy man started to sing confidently as usual*
“Are you still there, dheji san?”
“Sure. Do you still want to sing for me?”
“ Anything for you. David Benoit?”
“David Benoit? Don’t be a fool, fijan. He doesn’t sing”
“He sang for us that night, remember?”
“Haha, just a couple of words and then he got cough while he was trying to re-arrange the lyrics and collaborate it with the piano playing. A Masterpiece trapped on his half of life aging-effect”
This conversations were keep going on ‘til us both having a significant sore throat while we’re laughing at loud about the top ten issues discussed on CNN that night.
***
David Benoit – don’t know why?
Bener-bener don’t know why dia telepon saya tiba-tiba gitu. Padahal saya lagi berusaha memaknai lagu ‘
Ah saya lagi-lagi terjebak dalam alam reminisce. Dan ternyata ini sudah tengah malam menuju dini hari. Saya rasa saya harus berterima kasih sama musik-musik peneman malam hingga dini hari saya ini dan gak lupa juga secangkir susu cokelat pengganti kopi yang setia menemani saya selalu semenjak kisah tragis antara teh dan kopi yang terjadi di dapur dan perut saya. :P
And yeah...
The time for reminisce has its limit, for sure. Lets end up this night with perpetual hopes, where, fifty years from now, here, in the real world or even the unreachable life that waiting for us, we’ll be friends forever.
Cheers for all,
Dhejih.
Comments
yg nyanyi warna..
smoga membantu ;)
pertemuan sama dia di konser musik jazz ini kayaknya pernah kamu ceritain, dhe.. long2 time ago.. ampir 1 taun, lewat YM, waktu hujan mengguyur *hihi*.. maafkan ingatan saya yg kdg suka terlalu tajam geje. hehe
sneng yaa.. kalo tiba2 ada seorang kawan lama menelpon, catch up.. reminisce..
mungkin beberapa taun dr skg kita semua bisa catch up jg, dimana semua udh bergelar. atau mgkn, udh menduplikasi diri jg.. dlm versi mini. hahaha!
what a wonderful story, it warms up my cold rainy evening. bacanya bikin senyum2.. hihi
hehehe..
warna, toh, ternyata.. ya ya yaa..
------------------------
iya cha..
aku juga senyum-senyum sendiri nulisnya.. mwahahahahaha..